Minggu, 31 Mei 2009

Luka

Setidaknya aku benar-benar lelah, ingin marah, mengeluh, dan berteriak sejadi-jadinya. Aku bagai sebuah diorama tak berarti untuk hidupku. Sudah terlalu banyak aku berkorban waktu hanya untuk membuatnya bahagia, mau terluka hati hanya untuk menjadikan senyumnya murni, tak segan-segan menjadi bahan tertawaan hanya demi tawanya yang lama tak mengembang, dan semua….semua Cuma untuk dia, dia yang aku temukan dari puing sisa-sisa kehancuran jati diriku.

Berkali-kali aku siap menahan tangis karena hatimu tetap beku, cair terhadap kesenangan dan sebaliknya saat kesenangan itu telah mencapai titik terendah kau seakan melupakanku, menganggapku tak berarti ketika aku tak sesuai dengan inginmu. Aku kecewa, kecewa ini benar-benar mengerak. Tak tahu kemana aku harus melemparnya, karena laut sudah jenuh menerima bualan ini, dan angin pun hanya setengah hati menerbangkan ungkapan busukku. Huh…!!

Sedikit saja aku minta kau untuk memegang hatiku, aku tahu aku tak sempurna, bahkan sering berlaku salah, atau sekedar kau salahkan saat kau tak membutuhkanku. Hidup ini bukan sinetron, bukan juga sebuah penggalan sketsa. Kenapa tidak kita seimbangkan saja, tanpa ada seorang pun yang merasa menang atasnya. Aku tak meminta apapun untuk luka ini, karena ia akan dengan sendirinya mengobati, lahir kembali dan bangkit dari semua keterpurukan hidup.

Tidak ada komentar:

 

©2008 Sastra Manusia Biasa | DezembroI by TNB

This template is brought to you by : allblogtools.com Blogger Templates